Idulfitri, Ajang Silaturrahmi Bukan Unjuk Megahnya Diri
(Oleh DR. Sariakin M.Pd (Pengamat Pendidikan Aceh, Dosen Senior Universitas Serambi Mekah, dan Pegiat Forum Aceh Menulis)
Aceh, RepublikNews – Sudah menjadi tradisi di Aceh bahkan di Indonesia, setiap menjelang lebaran (Idulfitri), ramai orang berduyun-duyun pergi ke pasar guna membeli keperluan lebaran, seperti ketupat, kue-kue khas lebaran hingga pakaian baru.
Membahas soal pakaian baru memang seakan tidak bisa dipisahkan dari hari raya Idulftri. Di mana hari besar keagamaan itu tiba, maka hal pertama yang terlintas dalam benak kita adalah pakaian, kue, riasan, hidangan dan segala hal yang baru-baru.
Bila tujuan dari puasa adalah hanya menunggu tibanya hari lebaran untuk ajang memamerkan diri, maka boleh jadi amal-ibadah yang kita jalankan selama di bulan penuh mulia itu tidak bardampak positif bahkan sia-sia.
Karena tak semua orang bisa memakai pakaian baru dan tampil sempurna saat hari raya Idulfitri, maka hari lebaran bukan waktu yang tepat untuk memamerkan pakaian dan gaya masing-masing dengan serba baru.
Di toko-toko atau di mal-mal, para orang tua sibuk membelikan pakaian anaknya. Tak jarang, mereka (anak-anak) akan menangis bila di hari lebaran tanpa memakai pakaian baru.
Tapi, kita juga perlu memahami, kalau lebaran bukan ajang untuk memamerkan kemewahandan kemegahan diri dengan pakaian baru dan riasan wajah nan elok. Tapi batin, hati, jiwa, dan pemikiran juga butuh pembaharuan dan perbaikan ke arah yang lebih baik lagi ke depan.
Menurut penulis, Hari Raya Idul Fitri adalah kesempatan besar bagi kita semua, umat islam sedunia untuk saling menghormati, toleransi, dan memaafkan sekaligus menjaga perasaan dan persaudaraan sesama umat muslim. Terlebih bagi mereka yang kurang mampu dan tak bisa membeli pakaian baru dan menikmati lezatnya opor ayam dan hidangan mewah lainnya yang biasa tersaji di meja makan saat lebaran tiba.
Berpakaian dan berdandan alakadarnya di hari lebaran bukan hal yang tabu dan memalukan. Justru, itulah wujud di mana seseorang menekankan dirinya untuk menghargai dan menghormati mereka yang kurang mampu dengan cara seperti itu.
Hari lebaran adalah momen di mana kita harus bisa bersikap tawadu dan tidak terlalu menonjolkan kemewahan pakaian dan riasan wajah yang terlalu berlebihan. Seperti halnya puasa adalah bentuk di mana Allah menyamaratakan umat manusia dengan cara berpuasa di tengah perbedaan kasta sosial mereka.
Momen lebaran pun seharusnya demikian. Si kaya lazim menghormati si miskin dalam berpakaian. Karena, penghormatan orang berpunya terhadap orang yang kurang mampu adalah bentuk penjagaan perasaan agar mereka (yang kurang mampu) tidak segan dan minder saat bersilaturami.
Dengan begitu hari lebaran yang mereka nantikan akan benar-benar menjadikan diri mereka kembali suci dan fitri dari dosa masa lalu dan menjadikan penantian mereka akan kemuliaan hari lebaran dengan makin bermakna dan mulia untuk dirasakan dan dinikmati bersama (tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin di kehidupan sosial bermasyarakat). (Riri)
Wallahualam Bishawab.